NAMA:DIAZ RATNA DEWY
NPM :12213413
KELAS: 1EA33
HUBUNGAN ILMU BUDAYA DASAR DENGAN EKONOMI
Istilah Ilmu Budaya Dasar dikembangkan petama kali diIndonesiasebagai pengganti istilah basic Humanitiesm yang berasal dari istilah bahasa Inggris “the Humanities”. Adapun bahasa humanities berasal dari bahasa latin, humanus yang artinya manusia, berbudaya dan halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Agar manusia menjadi humanus mereka harus mempelajari ilmu the humanities tetapi tidak meninggalkan tanggungjawab lain sebagai manusia itu sendiri.
Menurut Prof Dr.Harsya Bactiar ilmu dan pengetahuan dikelompokan menjadi tiga kelompok besar yaitu:
- Ilmu alamiah (natural scince)
- Ilmu sosial (social scince)
- Pengetahuan budaya (the humanities)
Ilmu Budaya Dasar berbeda dengan pengetahuan budaya. Ilmu budaya dasar dalam bahasa Inggris disebut basic humanities. Pengetahuan budaya dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah the humanities. Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu budaya dasar bukan ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan budaya.
Guna membahas kaitan kebudayaan dan pembangunan ekonomi, para ahli mengkaji “budaya nasional” sebagai bagian
proses pembinaan identitas bangsa (“aku orang Indonesia”). Budaya daerah menjadi “acuan perantara” antara “budaya
nasional” dan “budaya wilayah” (“aku orang Sumatera, aku orang Sulawesi, dan sebagainya”). Budaya “ikatan primordial”
melekat pada suku, agama, dan lingkaran di seluruh Tanah Air (“aku orang Aceh, aku orang Sangir, aku orang Bangka,
aku orang Ambon”, dan sebagainya). Salah satu pengamatan penting Soedjatmoko adalah bagaimana “mempertemukan”
budaya Barat dengan budaya-budaya Indonesia sehingga terjadi “pembebasan budaya daerah dari kungkungan tradisi”.
Bagaimana membuat orang “terbebas” dari tradisi, namun tidak “tercabut” dari ikatan budaya seperti suku, agama, dan
kedaerahan?
Kebudayaan sebagai kerangka acuan pembangunan ekonomi menjadi tema dasar sejumlah karya besar dalam ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu administrasi negara, bahkan ilmu ekonomi itu sendiri sejak 1950-an. Gunnar Myrdal dari Swedia, 1960-an, membandingkan kinerja “negara keras” dan “negara lembek” guna menggambarkan perlunya “negara kuat” mendobrak “mental lembek” pegawai negeri, yang dinilainya menghambat pembangunan
nasional. Ahli sosiologi Selo Soemardjan dan ahli antropologi Koentjaraningrat, 1970-an, mengajukan pemikiran pentingnya “sikap mental” dalam pembangunan nasional. Denis Goulet menegaskan pentingnya “pilihan kejam” yang harus ditempuh pimpinan nasional di negara sedang berkembang jika ingin mendatangkan kemakmuran ekonomi. Belakangan (1993), Samuel Huntington menghimpun tulisan sejumlah pakar mancanegara dari berbagai benua dalam Culture Matters (Kebudayaan Itu Penting).
Indonesia hingga kini masih ramai memperdebatkan hubungan timbal balik antara kebudayaan dan pembangunan ekonomi. Perdebatan itu dibahas di kalangan pujangga Indonesia tahun 1930-an dan 1940. Tokoh budaya “pro-Barat”,
seperti Armyn Pane, berpolemik dengan tokoh yang memberat pada tradisi, seperti Ali Boediardjo. Perdebatan menarik itu lalu diwacanakan sebagai “kaum keroncongis” dengan “kaum gamelanis”. Pada 1960-an hingga 1970-an, berlanjut menjadi perdebatan musik Indonesia yang merangkul musik Barat dengan mereka yang berpegang pada musik daerah dan suku. Soedjatmoko meramu perdebatan itu melalui rumusan, tiap bangsa dan tiap daerah harus menentukan sendiri
seberapa cepat ia ingin merangkul nilai-nilai “modernisasi” dan seberapa banyak ingin mempertahankan nilai-nilai yang penting untuk kelestarian jati dirinya.
Sumber : Buku Ilmu Budaya Dasar oleh Widyo Nugroho dan Achmad Muchji yang diterbitkan oleh Gunadarma.
http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=55:pembangunan-ek..